-->

PERBEDAAN TINGKAT KEMATANGAN EMOSI PASANGAN REMAJA YANG MENIKAH DINI BERDASARKAN JENIS KELAMIN

PERBEDAAN TINGKAT KEMATANGAN EMOSI PASANGAN REMAJA YANG MENIKAH DINI BERDASARKAN JENIS KELAMIN (DITINJAU DARI BUDAYA MENIKAH DINI DI KECAMATAN X MADURA)

dr. Siti Nurfitria, S.ked., M.Biomed

Eviana Safitri., S.Psi

Program Studi Psikologi Jurusan Ilmu Sosial Dan Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura

ABSTRACT

       The Purpose of this research is to know the differencess of the level emotional matury of young couples in the houshold based on gender (in terms of the culture of young merriage in the district X of Madura). This research uses quantitative comparative method, research by taking of 150 sample teenagers who married early. with the criteria a pair of teenagers who married of ean early age 14-20 years old with1-5 years long merriage and lives in the X district Bangkalan Madura. The methode of collecting data in this study is uses a scale of emotional maturyof 35 item. The sampling metode uses purposive sampling. Statistical test helping with spss program 23.0 for windows. The result of study in the independen t-testwere obtained t value of 2.380 and signifikance (2 tailed) of 0,019 because the result are obtained ,0,05 then according to the basis of decision making test independent sample t-test H0 is rejected and by Ha apcepted so thet it can be concluded that there is a diference between male emotional maturity and emotional maturity of women in couplesin early age of household.

Keywords : Teenager, Early-Age Marriage, Emotional Maturity, Madura

ABSTRAK

       Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Tingkat Kematangan Emosi Pasangan Remaja Yang Menikah Dini Berdasarkan Jenis Kelamin (Di Tinjau Dari Budaya Menikah Dini Di Kecamatan X Madura). Metode penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif komparatif dengan mengambil sampel 51 pasangan remaja yang menikah dini, dengan kriteria Sepasang remaja yang menikah di usia dini, usia 14-20 tahun, dengan usia perknikahan antara 1 sampai 5 tahun, dan tinggal di Kecamatan X Kabupaten Bangkalan Madura. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala kematangan emosi sebanyak 35 item. Cara pengambilan sampel menggunakan Purposive sampling. Uji statistik menggunakan  uji parametris independent t-test dengan bantuan program SPSS Statistika 23.0 for windows. Hasil penelitian dalam uji independent t-test di peroleh nilai  t 2,380 dan signifikansi (2-tailed) sebesar 0,019, karena hasil yang diperoleh < 0,05 maka sesuai dasar pengambilan keputusan dalam uji Independent Sample T-Test H0 ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara kematangan emosi laki-laki dan kematangan emosi perempuan pada pasangan usia dini dalam berumah tangga (ditinjau dari budaya menikah dini di kecamatan X Madura).

Kata Kunci : Remaja, Pernikahan dini, Kematangan Emosi, Madura

PENDAHULUAN

Tradisi merupakan sebuah adat yang dijalankan secara turun temurun dalam masyarakat, termasuk tradisi pernikahan dini di kalangan masyarakat Madura. Pernikahan dini di kalangan masyarakat Madura merupakan sebuah perilaku kebudayaan yang sudah secara turun temurun dilakukan. Pernikahan dini  menjadi suatu hal yang menarik dikaji karena untuk sebagian besar masyarakat Madura memandang tradisi pernikahan dini  sebagai hal yang lumrah dan sering terjadi dalam realita kehidupan bermasyarakat. Menurut Sakdiyah & Ningsih (2013) Perkawinan usia dini terbanyak terjadi di Madura, yakni sekitar 60 % dan merata di empat kabupaten. Penentuan batas minimum usia dalam perkawinan sangat penting, karena secara tidak langsung mempengaruhi kualitas dalam kehidupan berubah tangga. Keluarga yang berkualitas akan melahirkan sebuah generasi yang lebih baik. Karena terciptanya kehidupan yang tentram, damai, dan teratur merupakan idaman bagi setiap orang. Untuk menjaga kerukunan dalam berumah tangga diperlukan sebuah kedewasaan dalam berpikir dan bertindak, karena hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perkawinan.

       Manusia dengan melakukan perkawinan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya, seperti kebutuhan akan cinta, rasa aman, pengakuan, dan persahabatan. Hal tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan, keharmonisan, ketentraman, dan kepuasan dalam hubungan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Muthalib (2011) bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menjaga kehormatan pasangan suami istri, meraih ketenangan rohani dan jasmani, dan mendidik keturunan dengan baik. Diperlukan banyak kesiapan dalam perkawinan antara lain kesiapan mental dan kesiapan fisik, selain itu ada pula ketentuan batasan usia dalam menikah. UUD perkawinan nomer 1 tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 menjelaskan secara jelas batasan usia nikah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Tetapi jika melihat dari sudut pandang ilmu kesehatan baik secara kesempurnaan dan psikologi, umur yang ideal untuk menikah bagi pria 25 tahun dan perempuan 20 tahun.

       Analisi survey penduduk antar sensus dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2007 di dapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding pedesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di pedesaan lebih banyak yang melakukan perkawinan di usia muda. Meskipun pernikahan anak merupakan masalah predominan di negara yang berkembang, terdapat bukti bahwa kejadian ini juga masih berlangsung di negara maju yang orang tuanya menyetujui pernikahan anaknya yang berusia kurang dari 15 tahun.

       Perkawinan pada usia di bawah umur di Jawa Timur terbanyak di daerah Madura, bahkan hampir merata di empat kabupaten, seperti: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (Sulaiman, 2012).  Bagi masyarakat Madura masalah umur tidak terlalu di hiraukan yang penting sudah mempunyai pasangan dan kecocokan diantara mereka berdua langsung dinikahkan, walaupun dari umurnya masih tergolong remaja, Karena masyarakat madura menganggap hal tersebut lumrah dan menjadi tradisi yang biasa terjadi di lingkungan hidupnya (Hairi, 2009) Masalah pernikahan dini, merupakan masalah yang sangat populer di masyarakat. Dengan berbagai interprestasi, dan sudut pandang yang berbeda, beberapa peneliti telah mengungkapkan ada beberapa hal yang berkaitan dengannya, yaitu masih kuatnya hukum adat di masyarakat, latar belakang pendidikan yang rendah, ekonomi yang rendah dan pergauan bebas (Hairi, 2009).

       Pernikahan di usia remaja banyak terjadi di daerah yang akan diteliti oleh penulis tepatnya di kecamatan X Bangkalan Madura. Fakta dilapangan penulis melakukan penelitian awal di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan X kabupaten bangkalan Madura dengan meneliti dokumen peristiwa perkawinan pada tahun 2016-2017. Data yang di dapatkan peneliti di Kantor Urusan Agama (KUA), pada tahun 2016 dan 2017 ada 1001 pernikahan yang terjadi dikecamatan X, dengan rincian 105 pasangan yang telah menikah di usia remaja dengan rincian 41 pasangan pada tahun 2016, dan 64 pasangan pada tahun 2017. Ada kenaikan dari tahun 2016 ke tahun 2017, 366 salah satu dari pasangannya masih usia dini, dan 520 pernikahan yang terjadi sesuai dengan umur. Setelah dihitung pada tahun 2016-2017 47% dikecamatan telah terjadi pernikahan dini. Dari tahun 2016 dan 2017 hanya 21 pasangan yang tercatat telah bercerai dan penggugatnya adalah dari pihak perempuan. Dari data yang penulis dapatkan lebih banyak remaja yang berhasil mempertahankan perkawinannya, salah satu faktor remaja dapat mempertahankan perkawinannya adalah faktor kematanagn emosi.

       Hasil data yang di dapatkan oleh peneliti banyak remaja muda yang telah menikah pada usia sangat muda, yang seharusnya pada usia mereka masih merasakan indahnya bangku sekolah. Menurut Adhim (2002) kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia dini. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada diantara mereka. Kematangan emosi adalah suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya diubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan (Rice dalam Khairani dan Putri, 2009).  Menurut Hurlock (1980) ada 3 ciri-ciri kematangan emosi yakni kontrol emosi, pemahaman diri, dan penggunaan fungi kritis mental individu, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi emosi menurut Hurlock yakni; usia, jenis kelamin, pola asuh orang tua, lingkungan dan perubahan fisik dan kelenjar.

       Masyarakat pada umumnya mengatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosional dari pada laki-laki (Santrock dalam Khairani dkk, 2009). Berbicara tentang emosi, kita mungkin tahu tentang steriotipe utama tentang gender dan emosi. Wanita lebih emosional dan penuh perasaan sedangkan laki-laki lebih rasional dan sering menggunakan logika. Steriotipe ini sangat kuat dan meresap kesannya pada budaya masyarakat (Shields dalam Santrock dalam Khairani dkk, 2009). Pernyataan diatas juga sesuai data perceraian yang di telah di ambil peneliti di KUA kecamatan X  bangkalan, bahwasanya 4 tahun terakhir dari kasus beberapa kasus perceraian yang tercatat di kecamatan X Bangkalan, yang menjadi penggugat di dominasi oleh pihak istri (perempuan).

       Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin meneliti Perbedaan Tingkat Kematangan Pasangan Remaja Yang menikah Dini Dalam Berumah Tangga Berdasarkan Jenis Kelamin (Ditinjau Dari Budaya Menikah Dini Di Kecamatan X Madura) dengan subjek remaja yang berumur 14-20 tahun dan mengambil variabel kematangan emosi sebagai Y dan jenis kelamin sebagai X ( remaja perempuan sebagai X1 dan remaja laki-laki sebagai X2).

PERNIKAHAN DINI

       Menurut Konopka (dalam Pratama, 2014) Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dimulai pada usia 16 tahun dan di akhiri pada usia 20 tahun, atau yang masih bersekolah dan dikategorikan remaja. Sedangkan pernikahan yang ideal adalah wanita 20 tahun keatas dan laki-laki 25 tahun keatas. Menurut Rusmini (2015) Pernikahan dini adalah pernikahan yang di lakukan oleh pasangan yang berusia 18 tahun kebawah baik itu laki-laki maupun perempuan.

       Pernikahan yang terjadi pada usia 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki menurut  Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002, Pernikahan tersebut termasuk pernikahan dini.Berbagai pengertian yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwasannya pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum cukup usia atau bisa diartikan menikah di usia remaja. Menurut Undang-Undang pernikahan 16 tahun adalah usia pernikahan muda.

EMOSI REMAJA

       Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan” suatau masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Perubahan pada tahun-tahun awal masa puber terus berlangsung tetapi berjalan agak lambat. Pertumbuhan yang sudah terbentuk pada masa puber (Hurlock, 1980).

       Ali & Ansori (2006), menambahkan bahwa perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian halnya. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada individu tersebut. Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa kanak-kanak. Perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dan dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak melainkan dengan cara menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah, (Hurlock, 1980).

       Dalam kehidupan sehari-hari sering kita lihat beberapa tingkah laku emosional, misalnya agresif, rasa takut yang berlebihan, sikap apatis, dan tingkah laku menyakiti diri, seperti melukai diri sendiri dan memukul-mukul kepala sendiri. Karena berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, status remaja remaja agak kabur, baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya (Ali & Asrori, 2006).

KEMATANGAN EMOSI

       Hurlock (1980), mengungkapkan bahwa kematangan emosi sebagai suatu keadaan dimana individu tidak lagi meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.

       Menurut Monks (2006), Kematangan berarti suatu hasil akhir dari pertumbuhan dan perkembangan fisik yang disertai dengan perubahan-perubahan perilaku. Monks lebih menekankan pada adanya suatu kemampuan berfungsi dalam tingkat yang lebih tinggi dari suatu fungsi perkembangan sebagai hasil dari pertumbuhan fisik. Menurut Hurlock (1980), kematangan emosi dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku disadari dengan suatu pertimbangan dan tidak mudah berubah-ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain.

Ciri-Ciri Kematangan Emosi

Hurlock (1980), mengemukakan tiga ciri-ciri dari kematangan emosi, antara lain:

a. Kontrol emosi

Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.

b. Pemahaman diri

Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui penyebab dariemosi yang dihadapi individu tersebut.

c. Pengunaan fungsi kritis mental Individu

Mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.

METODE PENELITIAN

       penelitian ini  adalah penelitian kuatitatif dengan metode komparatif dan memiliki dua variabel, yakni variabel terikat (Y) = kematangan emosi dan variabel bebas (X) = jenis kelamin (X1= laki-laki X2= perempuan) Penelitian ini menggunakan ciri-ciri kematanagn emosi sebagai alat ukur dari variabel kematangan emosi. Ada 3 ciri-ciri kematangan emosi menurut Hurlock (1980) a.  Kontrol emosi b. Pemahaman Diri c. Penggunaan Fungsi  Kritis Dan  Mental Individu menggunakan skla likert subjek dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri a. Pasangan suami istri yang menikah muda (14-20 tahun) b. Usia pernikahan 1-5 tahun c. Tinggal di kecamatan Socah. Dengan jumlah subjek 51 pasangan remaja yang menikah dini.  Untuk menguji validitas alat ukur digunakan korelasi Product Moment Pearson sedangkan untuk mengetahui reliabilitas alat ukur peneliti menggunakan teknik Alpha Cronbach.

PEMBAHASAN

       Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara tingkat kematangan emosi pasangan usia dini dalam berumah tangga berdasarkan jenis kelamin. Pada uji coba alat ukur disini jumlah reponden sebanyak 51 pasangan remaja (laki-laki dan perempuan) yang telah menikah di usia dini. Berdasarkan hasil perhitungan uji perbedaan t-test di peroleh nilai  t 2,380 dan signifikansi (2-tailed) sebesar 0,019, karena hasil yang diperoleh < 0,05 maka sesuai dasar pengambilan keputusan dalam uji Independent Sample T-Test yang telah dijelaskan maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara kematangan emosi laki-laki dan kematangan emosi perempuan.

       Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang diteliti oleh Khairani dkk (2009) Tentang  Perbedaan kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda, bahwasannya Hasil dari penelitiannya diperoleh nilai t sebesar -3,061 dengan signifikansi sebesar 0,002 (p < 0,01). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis penelitian diterima yang artinya ada perbedaan yang sangat signifikan antara kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda. Hasil tersebut juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Sukriman (2014) dalam skripsinya yang berjudul kematangan emosi ditinjau dari jenis kelamin pada komunitas MCL (Malang Cat Lovers), hasil penelitiannya mengatakan bahwa kesimpulan menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kematangan emosi laki-laki dan perempuan.

       Dari hasil yang di peroleh menunjukkan bahwa rata-rata kematangan emosi remaja laki-laki dan kematangan emosi remaja perempuan dalam kategori sedang. Perbandingan nilai kategorisasi yang di peroleh bahwa rata-rata rangking  pada skala kematangan emosi laki-laki dalam kategori sedang sebesar 40 subjek dengan presentase 80 % dan kategori tinggi sebesar 7 subjek dengan presentase 14%. Selanjutnya pada remaja perempuan untuk kategori sedang 35 subjek dengan presentase 70% sedangkan kategori tinggi remaja perempuan sebanyak 8 dengan presentase 16%. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata kematangan emosi laki-laki dengan jumlah 3,2706, sedangkan nilai rata-rata kematangan  perempuan dengan jumlah 3,3747. Nilai rata-rata kematangan emosi remaja laki-laki dan remaja perempuan yang menikah dini lebih tinggi remaja perempuan dengan selisih 0,1041.

       Hurlock (1980), mengungkapkan bahwa kematangan emosi sebagai suatu keadaan dimana individu tidak lagi meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Dari hasil diatas menunjukkan bahwasannya kematangan emosi perempuan lebih tinggi dibanding kematangan emosi laki-laki. Menurut Hurlock (1980), ciri-ciri kematangan emosi ada 3 yakni: kontrol emosi, pemahaman diri, dan Pengunaan fungsi kritis mental Individu, jika individu telah memiliki ciri-ciri tersebut maka individu dikatakan memiliki kematangan emosi.

       Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Perbedaan Kematangan Emosi Dan Kepuasan Pernikahan Pada Pria Dan Wanita Pasangan Nikah Usia Dini Di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa responden pria cenderung memiliki kematangan emosi yang lebih rendah dibanding responden wanita. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukriman (2014) dalam penelitiannya yang berjudul kematangan emosi ditinjau dari jenis kelamin pada komunitas MCL (Malang Cat Lovers), menunjukkan bahwa emosi perempuan memiliki kematangan yang lebih tinggi dibandingkan kematangan emosi laki-laki dengan perbandingan mean perempuan (2) sebesar 59.7200 dengan mean laki-laki (1) sebesar 55.7200.

       Tidak dapat disangkal lagi bahwa perbedaan jenis kelamin dipengaruhi oleh faktor biologi terutama perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Menurut Pasiak (2002) mengatakan 3 hal yang membedakan laki-laki dan perempuan, yakni; struktur fisik, Organ reproduksi dan cara perpikir. Perbedaan dalam cara perpikir rupanya memiliki alasan biologis. Struktur otak dan pengaruh hormonal sebagai penyebab perbedaan tersebut. Sebagaimana beberapa hasil penelitian pada manusia dan mahkluk hidup, bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda dalam cara menyelesaikan masalah (way of problem solving).         

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka didapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kematangan emosi pasangan usia dini dalam berumahtangga berdasarkan jenis kelamin. Dalam uji Independent Sample T-Test menunjukkan nilai signifikansi diperoleh nilai t 2,380 dan signifikansi (2-tailed) sebesar 0,019, karena hasil yang diperoleh < 0,05 maka sesuai dasar pengambilan keputusan dalam uji Independent Sample T-Test  Ha diterima dan H0 ditolak. Dimana Remaja Perempuan yang menikah dini lebih memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada tabel deskriptif, dimana mean pada remaja perempuan memiliki nilai 3,3747 dan mean pada remaja laki-laki memiliki nilai 3,2706.

DAFTAR PUSTAKA

Adhim. M.F, (2003). Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani Press

Ali, M & Asrori, M, (2009). Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik).

Jakarta: Bumi Aksara.

BkkbN,(2011). Pernikahan Usia Dini. www.bkkbn.go.id/hasil%20 pernikahan%2 0usiadini. diakses  8 October 2017.

Monks, F.J, (2006). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muthalib, A.B.A, (2011). Agar Cinta Terawat Indah di Rumah Kita. Yokyakarta:Pro-U Media.

Hairi, (2009) Fenomena Pernikahan Di Usia Muda Di Kalangan Masyarakat Muslim Madura. Skripsi sosiologi agama fakultas usuluddin universitas islam sunan kalijaga yogyakarta.

Hurlock, E. B, (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Khairani,R & Putri D.E,(2009). Emotional Maturity in male and Famale With Early Matriage. ISSN: 1858-2559.

Rusmini (2015). Dampak Menikah Dini Dikalangan Perempuan Di Desa Batulappa Kecamatan Batulappa Kabupaten Pinrang (Studi Kasus Khususnya Perempuan yang Menikah Dini di Dusun Tarokko). Skripsi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas hasanuddin makassar.

Sulaiman,(2012). Domination of Tradition in Under Age Marriage. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Sukriman,P,R(2014) Kematangan Emosi Ditinjau Dari Jenis Kelamin Pada Komunitas MCL( Malang Cat Lovers). Skripsi. Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Pratama A, Bintang, (2014). Perspektif Remaja Tentang Pernikahan Dini. Skripsi Jurusan Ilmu Sejahtera Sosial Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu.

Paisak, Taufiq (2002) Revolusi IQ/EQ/SQ Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur’an dan Neurosains Mutakhir. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Rusmini (2015). Dampak Menikah Dini Dikalangan Perempuan Di Desa Batulappa Kecamatan Batulappa Kabupaten Pinrang (Studi Kasus Khususnya Perempuan yang Menikah Dini di Dusun Tarokko). Skripsi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas hasanuddin makassar.