-->

Bangkalan Kota Dzikir dan Sholawat, Kenapa Tingkat Kejahatan Masih Tinggi?

Lima tahun yang lalu. Tepatnya, pada tanggal 28 Agustus 2015, Kabupaten Bangkalan didekrasikan sebagai Kota Dzikir dan Shalawat. Deklarasi dibacakan langsung oleh Makmun Ibnu Fuad, selaku Bupati Kabupaten Bangkalan saat itu. 

Lahirnya deklarasi ini, merupakan keinginan masyarakat dan ulama Bangkalan agar Dzikir dan Shalawat menjadi identitas Kota Bangkalan.

Tujuan Berdirinya Bangkalan Kota Dzikir dan Sholawat

Kota Bangkalan 

Tujuan Menjadikan Bangkalan sebagai kota Dzikir dan Shalawat selain sebagai identitas Kota, juga menjadi harapan agar masyarakat Bangkalan yang notabene mayoritas Muslim berhati lembut, berakhlak mulia, bersih dari penyakit batin, dan diampuni dosanya. 

Dengan melakukan dzikir dan shalawat dapat menggerakkan hati kearah yang lebih baik dan memperkuat nilai-nilai keagungan Allah, sehingga masyarakat Bangkalan akan senantiasa memupuk kerukunan dan persaudaraan.

Melihat dari tujuan menjadikan dzikir dan shalawat sebagai identitas Kota, tentu tidak akan ada seorangpun yang menyangsikan tujuan baik tersebut. 

Tujuan baik ini, perlu diwujudkan, tapi akankah hanya sebatas dengan membaca dzikir dan shalawat saja akan terjadi perubahan sikap pada masyarakat? Tentu bisa, tapi perlu dibuktikan.

Harapan Berdirinya Bangkalan Kota Dzikir dan Sholawat

Beberapa harapan Bangkalan sebagai kota dzikir dan shalawat, seperti berubahnya masyarakat yang awalnya berhati kasar bisa berubah menjadi berhati lembut, kurang ajar bisa berubah menjadi berakhlak mulia, dan orang yang berpenyakit batin bisa sembuh dan bersih batinnya.

Hal ini perubahan diwilayah sikap, tentunya perubahan diwilayah sikap bisa diukur, misalnya dengan menganalisa setelah 5 tahun deklarasi kota dzikir dan shalawat dengan sejumlah intensitas kegiatannya, tingkat korupsi, pelecehan seksual dan bentuk kejahatan lainnya di Kabupaten Bangkalan intensitasnya menurun atau sebaliknya.

Jika ternyata kegiatan dzikiran dan shalawatan selama 5 tahun, tidak ada perubahan positif secara signifikan, maka kegiatan dzikir dan shalawat perlu dievaluasi, mungkin intensitasnya kurang sehingga kegiatan dzikir dan shalawat hanya selesai sebagai ritual belaka tanpa bekas dan efek samping perubahan positif pada masyarakat yang mengikuti kegiatan dzikir dan shalawat secara khusus dan secara umum semua masyarakat Bangkalan.

Mestinya kegiatan dzikir dan shalawat berbekas dan dapat memberikan efek pada lingkungan lokal. Ini mengaca pada kegiatan serupa yang dilakukan oleh seorang Maharishi Mahesh Yogi yang konon teknik meditasinya memiliki efek pada lingkungan sekitar. 

Cerita tentang ujicoba teknik meditasi ini, dapat dibaca di buku 

“Law of Resonance; Membangkitkan Getaran Hati untuk Mereguk Kebahagiaan Sejati”, karya Pierre Franckh. 

Dalam buku ini, dipaparkan bahwa Maharishi Mahesh Yogi, pernah melakukan ujicoba lebih dari 24 kota di amerika bagian utara, dengan melibatkan lebih dari 10 ribu orang penduduk dari kota-kota tersebut. 

Hasilnya, angka kejahatan menurun drastis. Dalam ujicoba ini, hanya dibutuhkan 1% saja dari jumlah penduduk yang mendiami sebuah wilayah untuk melakukan sebuah teknik meditasi khusus, yang diberi nama meditasi transendetal. Inti dari teknik meditasi ini diniatkan untuk menghasilkan rasa damai dan tentram di dalam hati.

Ujicoba efektifitas teknik meditasi ini kembali dilakukan oleh “Internasional Peace Project in The Middle East” beberapa tahun kemudian. 

Ujicoba dilakukan di daerah peperangan antara Libanon dan Israel pada tahun 80-an yang telah mencapai puncaknya dan sangat menggemparkan dunia melalui kekejamannya. 

Selama para peserta tes tenggelam dalam meditasi mereka dan menciptakan kedamaian batin, angka kejahatan dan teror menurun drastis. 

Bahkan kecelakaan lalu lintas pun berkurang dan unit-unit gawat darurat di seluruh rumah sakit berkurang kesibukannya. 

Tapi, begitu seluruh peserta tes tadi mengakhiri meditasi mereka, maka semuanya kembali berlangsung seperti biasa.

Pada percobaan ini, para peneliti mencatat semua kemungkinan yang bisa memengaruhi hasil dari percobaan tadi. 

Mereka memerhatikan hari libur, hari kerja, bahkan siklus (peredaran) bulan. Mereka melakukan percobaan pada hari-hari di mana semestinya angka-angka kejahatan, teror dan kecelakaan sangat tinggi. Tapi, angka-angka ini selalu turun drastis setiap kali percobaan dilakukan pada hari-hari tersebut.

Hasil percobaan ini sangat jelas sehingga para ilmuan yang mengadakan percobaan ini bisa menentukan tanpa ragu, berapa banyak jumlah peserta tes yang dibutuhkan dalam bermeditasi untuk menciptakan kedamaian batin, sehingga hal ini juga dapat tercermin atau dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Ternyata, hanya sedikit sekali orang yang dibutuhkan. Bahkan lebih sedikit dari yang dibayangkan orang selama ini. 

Menurut hitungan para peneliti hanya membutuhkan akar kuadrat (akar pangkat dua) dari 1% jumlah penduduk, yang ingin merasakan pengaruh meditasi mereka. 

Jadi misalnya kabupaten Bangkalan jumlah penduduknya 1 juta, 1% dari 1 juta hanya 10 ribu orang yang dibutuhkan untuk melakukan meditasi.

Nah, mengaca dari meditasi yang dilakukan oleh Maharishi Mahesh Yogi. Kabupaten Bangkalan sudah mempunyai modal awal untuk mengseriusi kegiatan dzikir dan shalawat yang perlu diformulasi lebih serius dan mendapatkan dukungan halayak untuk dilakukan secara inten. 

Niatnya untuk menghasilkan kedamaian batin dalam diri mereka. Namun, kalau hanya sebagian kecil dari jumlah penduduk Bangkalan yang menghasilkan kedamaian batin, maka efeknyapun juga kecil.

Kegiatan dzikir dan shalawat kurang lebih sama dengan teknik meditasi, sama-sama media untuk memanfaatkan resonansi batin. 

Menurut teori resonansi, suatu benda yang mempunyai frekuensi yang sama akan menimbulkan getaran dan mempengaruhi getaran dari benda lain dan disekitarnya. 

Maka dari itu, kegiatan dzikir dan shalawat perlu formulasi yang seragam dengan niatan yang sama, yaitu menghasilkan kedamaian batin. 

Bukankah dengan kedamaian batin, pikiran seseorang akan lebih jernih? Jika setiap orang yang ada di kabupaten Bangkalan lebih jernih, tentu tindakannya akan lebih terukur. Ini bukan utopis, kalau kita bisa bersepakat untuk melakukannya bersama-sama.