-->

Sejarah Arya Wiraraja (Raja l Sumenep) Silsilah Keturunan dan Pasukanya

Berawal dari KERAJAAN SINGASARI - Ken Arok Sri Rangah Rajasa Shang Amurwabhumi, adalah Raja pertama Kerajaan Singasari yang sekaligus juga sebagai pendirinya. 

Di dalam kitab Pararaton diceriterakan bahwa Ken Arok adalah seorang anak yang diturunkan oleh para Dewa agar mampu mengendalikan Tanah Jawa yang pada waktu itu sudah mengalami era dekadensi moral, karena ketidak-harmonisan hubungan antara Prabu Kertajaya selaku Raja di Kediri dengan para Brahmana (kelompok Agama). 

Sehingga dikisahkan bahwa Ken Arok adalah titisan dari Dewa Brahma, atau dengan ceritera yang romantis dikisahkan bahwa Betara Brahma turun ke bumi serta menanamkan benih (janin) kepada seorang gadis desa yang kemudian terlahirlah Ken Arok, sebagai utusan Dewa.

Ken Arok sesungguhnya adalah putra Rakyan Ginantaka, juga cucu Rakyan Wirandhaka selaku Senapati Sarwajala Kerajaan Kediri di masa Pemerintahan Sri Maharaja Rakay I Hino Sri Aryeswara Madhusudhana Watarirajaya Kameswara, atau yang dikenal dengan nama Prabu Kameswara I. 

Rakyan Wirandhaka sendiri adalah putra Shri Bhupati Linggawesi Raja Pajajaran, yang juga keturunan ketiga dari Prabu Kudhalelean Maharaja Adhimulya Raja Pajajaran yang memerintah pada tahun 928 Masehi. 

Itupun merupakan suatu strategi yang diatur secara rapi oleh para penguasa di Pajajaran, dan merupakan politik ekspansi dengan cara menyelundupkan orang-orangnya di pusat pemerintahan kerajaan di Tanah Jawa bagian tengah dan timur.

Sang Rajasa Ken Arok, memerintah di kerajaan Singasari sejak tahun 1222 hingga tahun 1247. Dan dinastinya memerintah di Singasari hingga tahun 1292 masehi, selanjutnya diteruskan oleh generasi berikutnya menjadi raja di kerajaan Majapahit hingga tahun 1478 masehi.

Sang Arya Wiraraja | Tokoh Pemimpin Jawa dan Madura

Sejarah Arya Wiraraja (Raja I Sumenep)

Banyak orang yang bertanya tentang keberadaan Arya Wiraraja, karena beliau bukan seorang raja mutlak hanya sebatas Adipati sehingga wajar bilamana silsilah keberadaanya kurang jelas. 

Tapi rupanya dimata ahli sejarah Arya Wiraraja mendapat tempat yang istimewa sehingga selalu tertulis dalam kitab-kitab kuno. 

Namanya tertera jelas termasuk dari mana dan siapa saja keturunannya, seperti yang digambarkan kitab-kitab Pararaton dan lain sebagainya.

Demung Nayapati. Demung Nayapati merupakan jabatan tinggi negara kala itu yang kedudukannya sangat dekat dengan raja. 

Kemudian setelah Prabu Whisnuwardhana diganti oleh putranya yang bernama Dandang Gendis bergelar Prabu Kertanegara, maka Arya Banyak Wide dipindahkan ke Madura timur yakni Songennep, sebagai Adipati atau yang setingkat Gubernur (sekarang). 

Hal tersebut dilakukan karena Sang Prabu melihat adanya hubungan mesra antara Banyak Wide dengan Mahisa Campaka yang nota bene adalah saudara sepupunya, sendiri dari keturunan Ken Arok dengan Ken Dedes. 

Hal mana akan dikhawatirkan kedudukannya sebagai raja akan tersaingi, apalagi Arya Banyak Wide orang yang cakap dalam strategi dan politik Pemerintahan.

Dikala Prabu Kertanegara mengadakan sidang mahkota, yang dihadiri oleh semua para pembesar kerajaan, diantaranya Demung Nayapati Arya Banyak Wide, Mpu Raganata, Panji Aragani, Kebo Anengah, Kebo Anabrang, Rakyan Tumenggung Wirakerti, Rakyan Rangga Mahisa Rangkah, dan lain-lain. 

Sang Prabu menuturkan keinginannya untuk memperluas daerah kekuasaannya hingga keluar tanah Jawa. Yang diincar pertama adalah kerajaan kerajaan Tribuwanaraja Maulimarwasewa dibawah pimpinan Prabu Darmasraya di Swarnadwipa (Sumatra). 

Lalu minta pendapat pada Arya Banyak Wide (Wiraraja) selaku pensehat politik pengatur strategi perang. 

Oleh Banyak Wide diberi pandangan agar hal tersebut perlu dipertimbangkan, karena paling utama adalah menunggu datangnya pembalasan dari negeri China, yang mana Sang Prabu pernah menghina tusan Khubilai Khan dengan memotong kupingnya karena tersinggung diminta untuk takluk kepada Kaisar China.

Dan bilamana penyerangan ke Swarnadwipa dilakukan, selayaknya harus mengirimkan telik sandi dahulu agar mengetahui kekuatan lawan. 

Rupanya saran dari Banyak Wide membuat Kertanegara tersinggung dan marah. Atas kemarannya tersebut maka secara halus disingkirkan atau dibuang ke Sumenep Maduda timur dengan alasan untuk memantau kedatangan armada China di laut Jawa. 

Tidak hanya Banyak Wide, para pembesar kerajaan yang mendukung pendapat Banyak Wide juga kena getahnya seperti Patih Mpu Raganata diganti oleh Panji Aragani sebagai Patih luar dan Kebo Anengah menjadi Patih dalam. 

Empu Raganata sendiri dijadikan ramadhyaksa (penasehat raja), Kebo Anabrang diangkat menjadi Senopati Agung. Rakyan Tumenggung Wirakerti dijadikan Menteri Anghabaya, Rakyan Rangga Mahisa Rangkah tidak diberi kedudukan.

Perlu diketahui bahwa urutan jabatan di Singhasari sebagai berikut: Patih, Demung Nayapati, Kanuruhan, Rangga, Adipati, Tumenggung, Manteri, Manteri Anghabaya (pembantu)

Atas kejadian tersebut maka Arya Banyak Wide dinohhaken / disingkirkan ke pulau Madura dan dijadikan Adipati di Sumenep, yang mana karena rasa marahnya Sang Prabu terhadapnya. Dalam kitab Pararaton diceriterakan bahwa dinohaken (disingkirkan) yang bunyinya antara lain :

  1. Shri Ranggawuni atinggal putra lanang
  2. aran Shri Kertanegara
  3. sira Mahisacampaka atinggal putra lanang
  4. aran radèn Wijaya. 
  5. Siraji Kertanegara sira ajenneng prabu
  6. abhisèka Siwabudha. 
  7. Hana ta wongira, 
  8. babatangira buyuting Nangka, 
  9. aran Banyak Widè, 
  10. sinungun pasenggahan arya Wiraraja, 
  11. arupa tan kandel dènira, 
  12. dinohaken, 
  13. kinon adhipati ring Sungenneb, 
  14. anger ing Madura wètan.

(Sri Ranggawuni meninggalkan seorang putra laki-laki bernama Sri Kertanagara; dan Mahisacampaka meninggalkan seorang putra laki-laki bernama Raden Wijaya. Sang Aji Kertanagara menjadi Raja Agung bergelar Betara Siwabudha. 

Ada salah seorang bawahannya yang menjadi penasehat dari dusun Nangka diberi nama Arya Wiraraja, yang dipercaya, kemudian disingkirkan dan dijadikan Adipati di Sumenep yakni Madura timur).

Kemudian diberi gelar Adipati Arya Wiraraja. tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269 Masehi. Pengangkatan Arya Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja, dengan dibekali surat keputusan Prabu Kertanegara yang bunyinya sebagai berikut :

Surat Keputusan KAKANCĂˆNGAN

Ăˆtèba’agi dha’ Banyak Widè, kaangguy ngastanè Adhipati, jumènnèng gun Songennep:

Sègeg toju’na parènta ”ĂˆKANAWA BUMI RAT” wulan karttika (kapat), tanggal lèma’ paro tengnga (pancami suklapaksa), waya (triwara), kaliwuan (pancawara), wrhaspati (kemmis, saptawara) Langkir, bintang Uttarasadha, Wismadèwata, Gandayoga, jam Wairayya, Barunaparwwèsa, Walawakarana, rasi Mrcchika.

Kalaban abakta pakon, dari SRI MAHARAJA DIRAJA KĂˆRTANĂˆGARA Rato Agung Singhasari, sè ètèba’agi dha’ babatangan buyut disa Nangka, Kèn Demung Banyak Widè, kaangguy ngastane Adhipati, jumenneng gun Songennep, kalaban ajuluk,

Doa Sang Arya Wiraraja 

Malar moga, sè Maha Agung Sanghyang Jagatnata, aparènga kabellasan ban pangaoban dha’ ka bumi ban magarsarèna.

Pusat Pemerintahan Arya Adipati Wiraraja terletak di Batuputih, sekarang merupakan ibukota kecamatan di kabupaten Sumenep. 

Letak geografis Batuputih kalau dilihat dari sektor ekonomi memang sangat tidak menguntungkan, tapi dari faktor situasi perang kala itu sangat strategis.

Sebab Batuputih merupakan tanah perbukitan yang tandus banyak bebatuan dan sangat sulit ditanami padi, karena sulitnya sumber air yang ada. 

Tentunya banyak masyarakat bertanya-tanya, kenapa Arya Wiraraja tidak menempatkan Pusat Pemerintahannya di daerah yang subur seperti Ganding, Guluk-guluk, Banasare atau daerah kabupaten Sumenep yang lain.

Adipati Arya Wiraraja menempatkan pusat pemerintahan tersebut di sebelah utara di sebuah bukit yang lebih menonjol dari daerah sekitarnya, merupakan suatu strategi agar dapat melihat dengan jelas ke laut Jawa. 

Pada saat itu kerajaan Kediri mendapat ancaman perang dari penguasa daratan China yakni Kaisar Khu Bhilai Khan dengan kekuatan tentara Tar-tarnya yang mencapai ratusan ribu prajurit, serta telah mempunyai pengalaman perang di belahan antero dunia. 

Karena Prabu Kertanegara telah menghina Mingkie utusan Kaisar Khu Bhilai Khan dengan memotong telinganya, disebabkan tersinggung atas surat Khu Bhilai Khan yang bernada melecehkan Kertanegara.

Dengan terlihatnya armada pasukan China di laut Jawa maka secara cepat Arya Wiraraja mengirimkan kurir ke pusat pemerintahan Singasari, agar mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengantisipasi serangan tentara Tar-tar. 

Di samping itu juga Arya Wiraraja mempersiapkan pasukannya untuk memberi bantuan bilamana sudah terjadi peperangan antara kedua belah pihak, dengan menghantam dari belakang setelah pasukan China berada disekitar utara kerajaan Singasari.

Berakhirnya Kerajaan Singasari

Sebagaimana telah diketahui bahwa politik Kertanegara ditujukan pada pembentukan suatu negara besar dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di wilayah Nusantara, agar dapat menyusun persatuan yang cukup kuat untuk mempertahakan diri terhadap ekspansi dari luar terutama dari daratan China.

Dengan demikian Prabu Kertanegara menjalin hubungan dengan kerajaan Bali, Pamalayu (Sumatera), Borneo (Kalimantan), Tumasik (Singapura), Champa (Kamboja) dan lain sebagainya. 

Rencana yang akan mempersatukan Nusantara gagal tidak bisa dilaksanakan bukan karena adanya ancaman perang dengan Kekaisaran daratan China, tetapi dikarenakan adanya serangan dari pihak dalam sendiri. 

Yaitu serangan yang dilakukan oleh Adipati Jayakatwang yang penuh ambisi untuk menguasai pulau Jawa, juga karena balas dendam kepada keturunan Ken Arok Sri Rajasa. 

Pada tujuh puluh tahun yang lalu Prabu Kertajaya Raja Kediri selaku kakek buyut dari Jayakatwang ditaklukkan oleh Ken Arok Sri Rajasa juga kakek buyut Kertanegara, dengan berdirinya kerajaan Singasari.

Memang sebelumnya telah diketahui oleh Prabu Kertanegara bahwa keberadaan Adipati Jayakatwang akan membahayakan kedudukan dirinya, karena dendam turunan yang tidak mudah untuk dihilangkan. 

Yang tidak menutup kemungkinan pada suatu saat akan menghantam dari belakang, namun hal itu agak dikesampingkan karena ambisi mempersatukan Nusantara jauh lebih besar. 

Untuk mengantisipasi gejolak dendam Jayakarwang maka dikawinkan dengan adik Kertanegara bernama Turuk Bali. 

Disamping itu Tribuwana putri kedua Kertanegara dikawinkan dengan Arya Ardharaja putra Jayakatwang. Yang seakan tidak mungkin akan terjadi balas dendam keturunan karena masih ada hubungan ipar dan besan.

Perlu diketahui bahwasanya Arya Wiraraja berteman dengan Jayakatwang dan sering berhubungan. Adanya kemauan Jayakatwang yang akan balas dendam kepada Prabu Kertanegara dan akan menghancurkan Singasari, tercium oleh Arya Wiraraja. 

Apalagi usulan Arya Wiraraja pernah ditolak dan dirinya disingkirkan ke Sumenep oleh Prabu Kertanegara, sehingga dirinya merasa disisihkan. Karena Arya Wiraraja memang ahli strategi politik dan mahir dalam strategi perang. 

Maka dengan adanya kekosongan pasukan di Singasari dengan pengiriman bala tentara perangnya ke Swarnadwipa (Sumatera) dibawah pmpinan Kebo Anabrang, menjadi suatu peluang yang baik untuk melancarkan serangan bagi Jayakatwang.

Dengan demikian maka Arya Wiraraja mengirimkan surat kepada Jayakatwang yang diantarkan oleh putranya yang bernama Arya Wirondaya. Isi suratnya menurut Serat Pararaton sebagai berikut :

Sang Nata amba tur wikan, yen paduka karsa ambereg lit nguni, mring pategalan lawas, prayogine linakyan samangkin, mumpung nuju ing mansa prayoga, tan na walang salisike, tan woten bajulipun, sima sepen banthengira wis, eri tanapi sarpa, tanana sadarum, wonten uga samanira, mung sayuga nanging wus ompong tan nggigit, mung mataken turira

Paduka Raja, hamba memberi tahu, kalau paduka bermaksud berburu seperti dulu ke peladangan lama, sebaiknya dilaksanakan sekarang saja. Disaat waktunya baik. Tak ada belalang seekorpun, tak ada buayanya. Macanpun sepi, bantengnya hilang. Baik duri maupun ular tak ada. Memang ada singanya seekor dan itupun sudah ompong tak akan menggigit. Hanya itulah pesan hamba.

Dikala Wirondaya putra Arya Wiraraja menghadap Jayakatwang di Daha, terjadilah dialog antara keduanya. 

Arya Wirondaya mengatakan bahwa ayahnya sakit hati pada sikap Prabu Kertanegara, yang dalam kidung Harsawijaya disebutkan ” ......tan trepi rehing nagari arawat-rawat kewuh” dengan demikian maka Jayakatwang yakin bahwa Arya Wiraraja tidak akan mengirimkan bala pasukannya untuk membantu Prabu Kertanegara. 

Hal mana merupakan peluang yang sangat besar untuk melumpuhkan Singasari. Yang ada di Keraton saat itu hanya Empu Raganata yang sudah tua seperti dikatakan dalam surat Arya Wiraraja ” .............. wonten uga samanira, mung sayuga nanging wus ompong tan nggigit.” (Memang ada singanya seekor dan itupun sudah ompong tak akan menggigit, yang disebut macan ompong adalah Empu Raganata karena susad tua).

Setelah diketahui oleh Jayakatwang bahwa Prabu Kertanegara kala itu sedang lengah pada situasi keamanan dalam negeri, karena mempersiapkan pasukannya untuk menunggu serangan dari armada China (Kaisar Kubilai Khan), selain sebagian besar bala tentara Kediri dikirim kepantai pesisir utara Pulau Jawa, juga ada di luar Pulau Jawa untuk menjaga kerajaan taklukannya. 

Apalagi dikuatkan oleh surat dari Arya Wiraraja sebagai kawannya yang telah menjadi Adipati di Sumenep. 

Dengan demikian surat tersebut merupakan suatu masukan yang sangat bagus. Dan juga sudah ada kepastian bahwa Adipati Sumenep tersebut tidak akan ikut berperang atau tidak mengirimkan untuk membantu Prabu Kertanegara melawan Jayakatwang. 

Hal mana merupakan kesempatan yang baik untuk merebut kembali negara yang dulu telah direnut oleh Ken Arok dari tangan buyutnya Pranu Kertajaya.

Penyerbuan Jayakatwang mulai bergerak melakukan penyerangan dengan strategi pasukan perangnya dipecah menjadi dua, sebagian menyerang melalui sebelah utara Singasari atau dataran rendah Malang, dipimpin oleh Jaran Guyang. 

Dan yang sebagian lagi melalui sebelah selatan yang dipimpin oleh Patih Kebo Mundarang. Dengan demikian pasukan Singasari menyambut di Kedung Peluk untuk memukul mundur serangan yang dari utara tersebut. 

Pasukan Jayakatwang dipukul habis-habisan sehingga banyak yang gugur dan melarikan diri, tapi terus dikejar sampai di desa Lemah Batang dan Kapulungan. Kemudian pasukan Jayakatwang dipukul mundur lagi dan lari ke desa Rabutcarat, di sana bertemu dengan pasukan yang sebagiannya, yang memang sengaja dipersiapkan sebagai bantuan yang diletakkan di desa Hanyiru untuk menghantam dari sebelah Timur. 

Selanjutnya terjadilah pertempuran hebat sehingga pasukan Singasari yang dipimpin oleh Raden Ardharaja kewalahan dan mundur ke desa Kapulungan, di sana mulailah mengatur siasat. 

Raden Ardharaja yang berbalik haluan, yang tadinya berdiri di pihak mertuanya sekarang berputar arah membantu Ayahandanya dan bergabung dengan pasukan Daha. 

Penyerangan mulai dipersiapkan lagi dan ditambah persiapan pasukan yang ada di desa Kurawan dan Kembangsari, sedangkan pasukan Singasari dipimpin oleh Raden Wijaya dengan kekuatan yang sudah berkurang. 

Disamping banyak yang gugur dan sebagian lagi dibawa oleh Arya Ardharaja yang bergabung dengan pasukan Ayahandanya.

Meskipun Raden Wijaya berjuang bersama pasukannya yang gagah berani, sangat tidak mungkin baginya untuk memenangkan pertempuran dengan kondisi pasukan yang sangat minim. Penghianatan Arya Ardharaja sangat berpengaruh pada peta kekuatan Raden Wijaya. 

Maka semangat pasukan Raden Wijaya menjadi surut dan kemudian memilih mundur bersama kedua belas pengikutnya yang masih setia, antara lain : 

  1. Lembusora
  2. Gajah pagon
  3. Medang Dangdi
  4. Mahisa Wagal
  5. Nambi
  6. Banyak Kapuk
  7. Kebo Kapetengan,
  8. Wirota
  9. Wiragapati
  10. Pamandana. 
Menurut kitab Negarakartagama para pengikut Raden Wijaya adalah Banyak Kapuk, Ranggalawe, Pedang, Lembusora, Dangdi dan Gajah Pagon.

Dengan mundurnya Raden Wijaya beserta sisa-sisa pasukannya, maka kemenangan berada di pihak pasukan Daha yang dipimpin oleh Adipati Jayakatwang.

Mereka dengan mudahnya memasuki pusat kerajaan Singasari, kemudian Prabu Kertanegara dibunuh oleh Jayakatwang, dalam keadaan mabuk minuman keras seperti tuak dan sebagainya. 

Dan selanjutnya pusat kerajaan atau keraton Singasari dihancurkan, kemudian pusat pemerintahan dipindah ke Kediri, dan dikendalikan oleh Jayakatwang pada tahun 1292.

Kala itu Raden Wijaya dengan prajuritnya yang sedang menyerang ke arah utara. Mendengar Prabu Kertanegara gugur, lalu akan kembali ke istana Singasari, untuk menghacurkan musuh disana. 

Tapi terdesak oleh prajurit Daha yang sangat banyak, sehingga terdesak mundur. Dan kembali ke utara kemudian dikejar oleh patih Kebo Mundarang, sampai di Buntak mereka ketemu, melihat pasukan lawannya tinggal sedikit Kebo Mundarang lalu mengejar Raden Wijaya. 

Raden Wijaya lari ketengah sawah dan terus dikejar oleh Kebo Mundarang, begitu jaraknya sudah dekat maka Raden Wijaya membanting singkal bajak tepat didepan Kebo Mundarang. 

Hingga lumpur sawah muncrat dan kena muka Kebo Mundarang, matanya dimasuki lumpur, badannya terhuyung-huymg lalu mundur ke belakang.

Melihat Kebo Mundarang mundur, Raden Wijaya lari bersama pengikutnya, setelah jauh maka mereka berkumpul. 

Lembusora, Ranggalawe, Pedang Gajah dan Dangdi diberi celana geringsing oleh Raden Wijaya. Kemudian mereka kembali memapak pasukan Daha yang masih mengejar, Lembusora mengamuk menerjang musuh hingga banyak yang mati. 

Setelah merasa payah lalu mundur sejenak, Raden Wijaya menggantikan posisi Lembusora, mengamuk sekuat tenaga, hingga musuh banyak yang mati. 

Setelah malam lalu mereka menjauh cari peristirahatan. Pada malam hari ketika para prajurit musuh tertidur, Raden Wijaya mendatagi mereka lalu dubantai sekuat tenaga, hingga banyak yang mati. 

Yang terbangun merasa bingung saling tusuk dengan kawannya sendiri dan ada pula yang melarikan diri pontang panting.

Tribuwanatunggadewi adalah permaisuri Raden Wijaya putri Prabu Kertanegara kena tawan musuh. Raden Wijaya mengajak Ranggalawe untuk mesuk ke benteng musuh merebut sang istri dari tangan musuh. 

Ditengah malam Raden Wijaya mendekat kesarang musuh yang sedang membuat api unggun, maka tampaklah Dewi Tribuwanatunggadewi bersama Dewi Gayatri bersama ditengah mereka. Raden Wijaya bersama Lembusora menerobos pertahanan musuh, mengamuk sekuat tenaga hingga banyak yang tewas. 

Kemudian Dewi Tribuwanatunggadewi cepat direbut lalu dilarikan menuju arah perkemahannya sendiri. Tapi Dewi Gayatri tertinggal, karena dikala ribut bersembunyi dan masuk kedalam perkemahan. 

Tak lama kemudian Raden Wijaya mengajak Lembusora untuk kembali lagi merebut Dewi Gayatri, tapi ditahan olenya agar tidak kembali, mengingat musuh sangat banyak. Dan kalau dipaksakan nanti bagaikan laron masuk kedalam kobaran api kata Lembusora, raden Wijaya menurut.

Kemudian Raden Wijaya dengan pengikut setianya menjauh dari perkemahan musuh kearah utara. Keesokan harinya dikejar lagi oleh pasukan Daha, sampai di telaga Pager terjadilah pertempuran lagi. 

Pasukan Raden Wijaya sambil lari ke utara juga sambil mempertahankan diri terhadap serangan lawan. Karena barisan musuh lebih banyak maka Gajah Pagon kena tombak betisnya dan luka tembus. Setelah musuh agak menurunkan pegendorkan penyerangannya, maka Raden Wijaya bersama pengikutnya kembali ke dusun Telaga Pager. 

Selanjutnya menyusup kehutan yang sangat lebat, ditelah hutan mereka berunding untuk melakukan langkah selanjutnya. Dan Lembusora mengusulkan kepada Raden Wijaya untuk mengungsi ke Madura yakni pada kadipatennya Arya Wiraraja di Sumenep. 

Rupanya usul masih menjadi pertanyaan bagi Raden Wijaya, apakah kira-kira Arya Wiraraja mau menerima mereka. Secara bersamaan Ranggalawe, Lembusora dan nambi mengatakan bahwa Arya Wiraraja tidak akan melupakan jasa baik leluhur dari Raden Wijaya, dan pasti akan menerima kedatangannya.

Akhirnya usulan tersebut disetujui, dan berangkatlah rombongan kecil tersebut menuju desa Kudadu yang kepala dusunya adalah Macan Kuping. 

Sesampainya di Kudadu Raden Wijaya diberi kelapa muda oleh Macan Kuping untuk penawar haus. Setelah diminum airnya maka kelapa muda tersebut dibelah menjadi dua, dan ternyata berisi nasi putih bersih. 

Para pengikut Raden Wijaya sangat heran dengan kejadian tersebut, karena sebelumnya tak pernah menyaksikan keanehan tersebut. 

Setelah nasi dimakan bersama lalu istirahat sebentar, kemudian Raden Wijaya melanjutkan perjalanannya, serta menitipkan Gajah Pagon yang sedang terluka parah di betisnya. 

Oleh Macan Kuping lalu Gajah Pagon dideri tempat ditengah ladang ilalang yang dibuatkan dangau, agar tidak diketahui oleh prajurit Daha. 

Setiap hari dirawat serta diantakan makanan. Pada malam harinya Raden Wijaya bersama rombongannya berangkat meuju desa Datar. Dari sama mereka mencari perahu untuk melanjutkan perjalannya.