-->

Pangeran Cakraningrat (Tjakraadiningrat) Regent Pertama di Bangkalan

Regent pertama di Bangkalan adalah Raden Kasim (Kasim) alias Pangeran Tjakraadiningrat, Putra dari Sultan Tjokroadiningrat II, Paman Saudara Ayah dari Panembahan Tjokroadiningrat VIII, yang kemudian mendapat gelar Pangeran Tjokroadingrat.

Regent adalah istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris berarti seorang bupati (pejabat pemerintah lokal) dimana bertanggung jawab kepada Residen Belanda.

Tjakraadiningrat / Cakraningrat

Dari Beliaulah kemudian berputra :

RAA Soerjonegoro Tjakraadiningrat : Regent/Bupati ke II (1905-1918).


RAA Soerjowinoto Tjakraadiningrat : Regent/Bupati ke III dan juga sebagai Walinegara Madura (1918-1945) sebagai Walinegara Madura tahun 1948-1950 dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia lagi.

Dari Putra Nomor 2 inilah yang kemudian melanjutkan Pemerintahan di Kabupaten Bangkalan :

1. RAA Mr. SIS TJAKRANINGRAT sebagai Bupati ke IV sampai ke Pemerintahan Pusat;

2. RAA ROOSLAN tJAKRANINGRAT melanjutkan sebagai pengganti Bupati ke IV dan diangkat sebagai Gubernur NTB.

Sebagai Adviseur ditempatkan di Madura (di Pamekasan) seorang Residen bernama HJ. Van der Tuuck. Pada waktu itu diatur oleh GG. Dengan beslitnya tanggal 22 Agustus 1885 Nomor 2/c, yang menurut pengesahan Radja Belanda sebagai berikut :

1.  Pencabutan Vorsten Bestuur atau Zelfbestuur di Madura dan Madura dipecah menjadi dua Kabupaten yaitu Bangkalan dan Sampang, yang ada di bawah perintah Residen Madura.

2.  Tanah Pertjaton untuk anggota barisan yang telah pensiun, dicabut.

3. Anggota-anggota keluarga Kerajaan Madura yang tadinya mempunyai tanah-tanah (desa-desa) sebagai apanage, dicabut apanagenya dan diganti uang kerugian yang ditaksir hasil tahunan menurut besar kecil tanahnya (onvervreemdbare persoonlijke schadeloosstelling).

4.  Menteri-menteri dari Kerajaan Madura yang lampau dicanut tanah pertjatonnya. Mereka diberhentikan dan diberi uang kerugian dari tanah pertjatonnya, pemberian tersebut bernama onderstand (tunjangan).

5. Upacara-upacara kerajaan Madura yang lampau kepunyaan siapa yang menjadi Panembahan di Madura, juga barang-barang Pemerintah Madura yang lampau yang berupa tanah atau bangunan (onroerende goederen) diambil oleh Pemerintah Belanda. Upacara-upacara tersebut diatas sampai sekarang ditaruh di Musium di Jakarta.

6. Barisan Madura ditetapkan tetapi ada dibawah pimpinan langsung dari Pemerintah Belanda, sedangkan tanah-tanah pertjaton dari mereka yang termasuk anggota keluarga Raja-Raja Madura yang lampau beserta Menteri-Menterinya yang duduk dikalangan anggota Barisan Madura juga dijabut dan diganti dengan uang tunjangan (onderstand) dari Kas Negeri.

Jumlah dari tiga macam uang schadeloosstelling yang tersebut diatas, untuk Kabupaten Bangkalan saja sebesar Rp. 264.030,- setahun. Setelah 50 tahun kemudian maka disebabkan peraturan-peraturan pemerintahan penjajahan hanya tinggal sejumlah Rp. 66.000,- setahun. 

Disebabkan oleh peraturan-peraturan diatas, segala lapisan rakyat merasa kecewa laksana madat (candu) yang mula-mula diberikannya dengan Cuma-Cuma untuk dibikin madat, maka setelah meminumnya tidak dapat melepaskannya, lalu dicabut dan dipaksa untuk membelinya sendiri. 

Juga hal tersebu berlaku juga di daerah Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Untuk menolak peraturan-peraturan tersebut, rakyat tidak mampu karena kekuatan militer ada dibawah pimpinan langsung Belanda, 

untuk mengharap dari pimpinan daerah juga tidak bisa karena mereka juga dipecah belah oleh politik penjajahan yang diluarnya kelihatan kelihatan sebagai politik persatuan, juga karena mereka dibikin mewah dan dibimbing kedalam kehancuran yang mereka sendiri tidak mereka sadari.

Kemudian Rumah Keraton Bangkalan oleh Pemerintah Belanda dianggap bouwvalling (tidak dapat didiami karena rusak). 

Karena pada tahun 1891 Rumah Kraton Bangkalan dirusak dan diganti dengan rumah Kabupaten biasa. Anggapan bouwvalling tadi sebenarnya ditujukan kepada rakyat, 

apa yang merupakan kebesaran ketika sebelum pemerintahannya dan agar rakyat tidak mengenal lain kebesarannya atau keindahan dari pemerintahannya sendiri. Inilah rupa-rupanya pemerintahan penjajahan. Orang arab bilang “Naudhubilla min dhalik” (mudah-mudahan kita dijauhkan dari pada itu).

Maka setelah beberapa tahun setelah R. Kasim menjadi Regent di Bangkalan Beliau mulai diperkenankan memakai gelar Pangeran Tjakraadiningrat.

Pada tahun 1894 Raden Demang Majangkoro dengan Barisan Bangkalan dikirim ke Lombok untuk ikut serta dengan pasukan Belanda berperang disana. Bupati Bangkalan (Pangeran Tjakraadiningrat) juga mendapat perintah dari Belanda agar mengumpulkan 1.000 orang Madura untuk dikirim ke Lombok untuk pekerjaan kuli disana. 

Pengiriman itu dilakukan dibawah pimpinan Raden Ario Surjengalogo. Raden demang Majangkoro setelah kembali dari Lombok diangkat sebagai “Officier in de Orde van Oranje Nassau” dan diberi gelar Ario. Beliau pada tahun 1901 mendapat peniiun dan meninggal di tahun 1906.

Sebagai tanda penghargaan Regent Bangkalan (Pangeran Tjakraadiningrat) oleh Raja Belanda diangkat “Officier der Orde van Oranje Nassau”. 

Di tahun 1905 Beliau pensiun dan pada saat Beliau diperkenankan memakai “Songsong Djeni” (payung yang didjet dengan warna kuning), Beliau meninggal pada hari Selasa tanggal 28 Dzul Kaidah Tahun 1848 H atau 1916 Masehi di usia 86 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Kuburan Mlajah Kelurahan Mlajah Bangkalan..[DI]